Part III : Peri Gudang
Chtholly sangat tidak menyukainya. Dia selalu menganggap Chtholly sebagai adik perempuannya dan memperlakukannya seperti itu. Tentu saja peri --yang tidak lahir dari kandungan ibu manapun-- sebenarnya tidak bisa memiliki saudara perempuan atau pun saudara kandung dalam bentuk apapun. Tapi gadis itu membenarkan hubungan kakak dan adik mereka hanya karena mereka berasal dari hutan yang sama di pulau terapung yang sama atau dia datang lima tahun lebih awal dari pada Chtholly. Menarik fakta kebetulan itu untuk menjadi bukti hanya membuat Chtholly semakin terganggu.
Dia rupanya memiliki keahlian yang hebat ketika menggunakan Dug Weapons,
satu hal lagi yang tidak disukai oleh Chtholly. Chtholly ingat saat
melihatnya terbang menuju medan perang, memamerkan pedang besarnya, lalu
meluncur pulang dengan senyum lebar di wajahnya. Tepat setelah kembali,
dia akan selalu masuk ke ruang makan dan memesan kue mentega --sebuah
makanan yang ada di daftar menu pada saat itu-- dengan ekspresi
kebahagiaan murni.
Pada suatu saat, Chtholly yang masih kecil dan belum berpengalaman itu memutuskan untuk bertanya kepadanya akan sesuatu.
"Mengapa kau selalu memakai bros itu meskipun tidak terlihat bagus untukmu?"
"Ahaha kau terlalu jujur, Chtholly. Kau akan membuat kakak perempuanmu menangis, kau tahu?"
"Kau bukan kakak perempuanku ..."
"Ehh? Mana mungkin aku yang menjadi adik perempuanmu."
"Maksudku, kita sama sekali tidak bersaudara."
Setelah beberapa menit menikmati olok-olok ringan di antara mereka, dia sedikit menurunkan senyumannya.
"Aku pernah memiliki figur seorang kakak perempuan juga. Aku mengambil bros ini darinya."
"Mengambil? Dia tidak memberikannya padamu?"
"Bros ini adalah salah
satu harta karunnya. Dia selalu memakainya dan merawatnya dengan baik,
jadi setiap kali aku memintanya, dia tidak mau mendengarkan." Pada titik
ini, Chtholly berpikir bahwa dia lebih jahat dari sebelumnya karena
telah mencuri barang penting dari seseorang, tapi dia malah menertawakan
tatapan menghakimi Chtholly. "Aku menantangnya ke berbagai permainan,
menuntut bros ini jika aku menang. Seperti nilai dalam kursus pelatihan
kami, kontes makan, atau permainan kartu. Tapi aku tidak pernah menang.
Meski begitu, aku terus menantangnya karena itu menyenangkan."
Chtholly sudah bisa
melihat bagaimana ceritanya akan berakhir. Jika Chtholly tidak
mengetahui sosok kakak perempuan dari kakak tirinya, itu berarti dia
sudah pergi pada saat Chtholly datang. Chtholly tetap diam, tidak ingin
bertanya tentang hal itu, tapi hal itu pasti terlihat di wajahnya.
'Kakak perempuannya' menepuk punggungnya dan melanjutkan. "Nah pada akhirnya, aku menang tanpa harus bertanding. Suatu hari, dia pergi berperang tanpa brosnya. Dia baru saja meninggalkannya di atas meja di kamarnya, jadi sejak saat itu benda tersebut menjadi milikku." Dia tertawa, meski Chtholly tidak dapat melihat sesuatu yang lucu tentang ceritanya. "Aku pikir juga benda ini tidak cocok untukku ... tapi aku merasa harus memakainya."
Sekali lagi, Chtholly
sangat tidak menyukainya. Tapi, melihat ke belakang, mungkin dia sama
sekali tidak buruk. Jadi, pada hari dimana dia tidak pernah pulang dari
pertempuran, Chtholly pergi ke kamarnya. Di balik pintu yang terkunci
itu, terlihat pakaian dalam yang berantakan, permainan kartu, dan aneka
barang-barang lainnya yang bertebaran. Di tengah kekacauan, hanya bagian
atas mejanya yang bersih. Bros perak duduk sendirian di tengahnya.
***
Selama beberapa hari
terakhir, Willem tidak melihat peri-peri tertua di gudang. Chtholly,
Ithea, dan Nephren. Semua gadis yang berusia paling tua sepertinya telah
menghilang entah ke mana. Setelah memikirkannya sebentar, dia menduga
pasti ada keadaan khusus dan memutuskan untuk tidak melanjutkan
pencarianya lebih jauh lagi. Tanpa berpikir panjang, dia hanya menerima
situasi ini.
Tanah masih menahan
kelembaban dari hujan pagi. Tim merah, yang telah berjuang sepanjang
paruh pertama pertandingan, baru saja mulai membalas serangan tersebut.
Motivasi anggota tim semakin meningkat dan mereka semua sepakat untuk
mengarahkan bola tepat ke wajah kapten tim putih pada babak kedua.
Angin yang kencang
tiba-tiba meniup saat bola melayang di udara, melayangkan bola itu
menembus tebing padat. Gadis yang mengejar bola tersebut kebetulan
adalah tipe orang yang tidak pernah menyerah dan tidak memperhatikan
kakinya saat melihat langit. Memikirkan kondisi tersebut hanya
menghasilkan satu kemungkinan. Bertekad untuk menangkap sasarannya,
gadis itu akhirnya terjatuh setelah menabrak tebing terlebih dahulu.
"Hei! Apa kau baik baik saja?!"
"Ow ow ... itu adalah sebuah kegagalan."
Kecelakaan itu tampak
cukup buruk. Tidak mengejutkan jika dia mengalami cedera yang sangat
serius, jadi saat gadis itu berdiri sambil tertawa terbahak-bahak,
Willem menarik napas lega. Sesaat kemudian, dia terbelalak ketakutan.
Sebuah luka yang dalam terlihat pada paha kiri gadis itu dan lengan
kanan atasnya tertusuk oleh cabang tipis. Untungnya, dilihat dari jumlah
darah yang keluar, arterinya kemungkinan besar belum rusak, tapi tetap
saja itu adalah luka yang fatal.
"Lukanya terlihat sangat buruk. Aku akan segera merawatnya."
"Ehh? Aku baik-baik
saja," gadis itu menanggapinya dengan acuh tak acuh. "Omong-omong, mari
bermain lagi! Mari bermain lagi! Kita lanjutkan lagi pertandingannya!"
Willem tidak bisa
mempercayai telinganya. Mungkin luka-luka itu tidak seserius
kelihatannya? Tapi tidak peduli berapa kali dia memeriksanya, dia yakin
bahwa luka-lukanya perlu segera dirawat atau hidup gadis itu mungkin
akan dalam bahaya.
"... apa tidak sakit?"
"Tentu saja menyakitkan.
Tapi, kau tahu, kita semua baru saja bersemangat kembali!" Gadis itu
menampilkan senyum lebar di wajahnya, dengan penuh semangat memberi
isyarat kepada Willem untuk memulai kembali permainannya.
Dia akhirnya mulai
mengerti situasinya. Seperti katanya, sebenarnya ada rasa sakit dan
mungkin sangat menyakitkan. Gadis ini --dan gadis-gadis lain yang
tampaknya tidak menyadari kalau ada sesuatu yang tidak wajar tentang
perilakunya-- sama sekali tidak menganggap luka sebagai masalah besar.
Rasa gemetar mulai menembus tulang punggungnya. Dia merasa seolah
dikelilingi makhluk tak dikenal dan misterius. Atau mungkin itu bukan
hanya perasaannya sama sekali, melainkan kenyataan bahwa dia telah gagal
mengerti situasinya sampai sekarang.
"Pertandingan berakhir."
Keluh kesah bangkit dari
gadis-gadis itu sebagai protes, tapi Willem tidak memerhatikannya dan
bergegas masuk ke dalam gudang, membawa gadis yang terluka itu dalam
pelukannya.
"... Jadi, mengapa orang
yang depresi di sini bukan orang yang terluka, tapi malah seseorang
yang baru saja membawanya?" Mengenakan gaun putih di atas pakaian
normalnya, Nygglatho menanyai Willem.
Gadis itu berbaring di
atas tempat tidur di dekatnya dengan anggota tubuh yang terbungkus
perban, cemberut karena permainan bolanya dihentikan. Willem duduk di
kursi, kepalanya terkubur di tangannya.
"Aku tidak menyadarinya
sampai hari ini ... gadis-gadis itu sepertinya tidak memiliki banyak
keterikatan pada kehidupan mereka sendiri, bukan?" Dengan memegang sikap
itu, dia bertanya kepada Nygglatho, seseorang yang dia harap mengetahui
sesuatu.
"Hmm, aku pikir mereka pasti memiliki kecenderungan itu."
"Itu tidak normal ... apa sebenarnya mereka?"
Nygglatho berhenti sejenak dan mendesah, lalu bertanya kembali, "kau benar-benar ingin tahu itu?"
Willem akhirnya mendongak.
"Kau adalah pengurus
mereka, meskipun itu mungkin hanya sebuah status. Jadi, jika kau meminta
informasi tentang mereka, maka aku tidak dapat menolaknya." Suaranya
terdengar lebih serius. "Sejujurnya, aku tidak ingin memberi tahumu.
Setelah mendengar ini, kau akan mengubah sikapmu terhadap anak-anak itu. Awalnya, aku pikir kau sedikit menyeramkan, tapi sekarang aku bersyukur
bahwa dirimu sangat baik kepada mereka. Jika memungkinkan, aku ingin
hal-hal seperti ini berlangsung lama."
"... tolong beritahu aku."
"Baiklah ... kurasa aku
tidak punya pilihan." Pundak Nygglatho merosot. "Sebenarnya, anak-anak
itu tidak benar-benar hidup. Tubuh mereka tidak takut mati karena mereka
memang tidak hidup. Pikiran mereka berbeda, tapi di usia muda mereka
hanya mengikuti naluri tubuh mereka dan dengan mudah menjadi ceroboh."
"Maaf ... aku tidak mengerti sepatah kata pun yang kau katakan."
Tidak benar-benar
hidup, lelucon macam apa itu? Bagaimana mungkin gadis-gadis keras
kepala, energik, dan ceria yang dilihatnya setiap hari itu tidak
benar-benar hidup?
"Hmm ... aku juga tidak
mau mempercayainya saat pertama kali mendengarnya," gumam Nygglatho
pelan. Dia berjalan keluar ruangan dan menunjuk Willem. "Ikuti aku. Aku
ingin menunjukkan sesuatu padamu."
Willem dengan lamban berdiri dan mengejarnya, masih sangat bingung.
"Emnetwyte. Aku menilai kau tahu banyak tentang mereka?"
"... hanya sebanyak yang diketahui orang-orang."
"Tidak perlu merendah."
Dia terkikik. "Spesies legendaris yang menguasai tanah lebih dari lima
ratus tahun yang lalu. Mereka tidak diberkati dengan bakat khusus ..."
Dikatakan bahwa
Emnetwyte tidak memiliki ukuran semenakutkan para Gigants. Mereka tidak
memiliki seni sihir seperti para Elf. Keterampilan bangunan mereka lebih
rendah bila dibandingkan dengan tradisi orang Moleian. Tingkat
reproduksi mereka tidak akan pernah bisa mengalahkan Orc. Dan tentu
saja, mereka juga tidak memiliki kekuatan para Naga yang luar biasa.
Meskipun memiliki keberadaan yang lemah tanpa kemampuan superior,
Emnetwyte menguasai daratan untuk jangka waktu yang lama, menangkis
serangan dari hampir semua ras lainnya.
"Ah ... aku tahu."
"Dan satu hal lagi,
mereka terasa jauh lebih lezat daripada ras lainnya. Fakta itu telah
diturunkan dari generasi ke generasi Troll. "
Legenda itu perlu dihilangkan. Serius.
"Salah satu alasan utama kekuatan mereka adalah sistem persenjataan mereka yang sekarang dikenal dengan nama Dug Weapons."
"... aku pernah mendengar sebelumnya. Anaala menyebut sekali bahwa jika kau menemukan Dug Weapons yang masih berfungsi, benda itu akan mudah menutupi biaya beberapa penyelamatan harta berikutnya."
"Mhm. Perusahaan
Perdagangan membelinya dengan harga minimal 200.000 bradal. Aku pikir
yang tertinggi mencapai 8.000.000 bradal."
Delapan juta. Uang itu
bisa untuk melunasi seluruh hutang Willem yang cukup besar lima puluh
kali dan masih tersisa beberapa ratus ribu.
"Dan ... semua Dug Weapons yang dikumpulkan oleh Perusahaan Perdagangan ..."
Nygglatho berhenti
berjalan saat mereka tiba di depan pintu yang luar biasa besar dan
kokoh. Lapisan logam tebal menutupi keseluruhannya dengan tonjolan tajam
menonjol dari tepinya. Sistem pengunciannya tampak lebih rumit daripada
lubang kunci biasa dan gagang pintu yang menyertainya terasa sangat
berat. Di "gudang" ini dipenuhi dengan pintu, pintu di depan mereka
sendiri berfungsi sebagai pengingat status resminya sebagai fasilitas
tentara.
"... ada di dalam ruangan ini."
Nygglatho membuka pintu
dengan mudah dan mendorongnya terbuka. Suara yang dalam seperti gemuruh
perut bergema di sepanjang lorong. Cetakan dan debu bercampur menjadi
bentuk yang tidak enak. Bau lembab masuk ke hidung Willem.
Ini hampir seperti
sebuah makam. Ruangan iu tampak seperti salah satu dari ruangan di mana
seorang raja kuno dimakamkan dengan harta karunnya dan perampok makam
yang bodoh akan mencoba mencuri beberapa tapi akhirnya dikutuk. Willem
tidak pernah benar-benar melihat dengan matanya sendiri, tapi ia
mendengar beberapa cerita seperti itu. Nah, apakah kuburan semacam itu
masih tetap ada di sana, dia tidak tahu.
Ruangan itu tidak
memiliki lampu. Dia bisa mengatakan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi
di balik kegelapan, tapi dia tidak dapat melihat apa-apa.
"Keamanan yang ketat, ya?"
"Nah, ada banyak hal berbahaya yang dikumpulkan di sini."
Pasangan itu berdiri diam, menunggu mata mereka mulai terbiasa dengan kegelapan.
"Senjata masa lalu kuno
yang cara pembuatan, perbaikan, dan penggunaanya telah hilang selamanya.
Senjata yang dibuat oleh ras lemah untuk mengalahkan Dragons dan Visitors
yang sangat kuat. Senjata yang melambangkan keinginan untuk melawan dan
kekuatan untuk bertarung. Senjata yang meski dipegang oleh satu orang,
bisa mengubah hasil keseluruhan perang."
Isi bayangan ruangan mulai terlihat.
"Haha ...." Willem tertawa gugup.
Melawan satu dinding
bersandar belasan pedang. Meski masih belum bisa melihatnya dengan
jelas, pedang-pedang itu jelas jauh lebih besar daripada pedang panjang
biasa yang biasa digunakan hanya untuk keperluan seremonial atau
pertarungan pribadi. Panjangnya bervariasi, tapi sebagian besar
terbentang sampai tinggi rata-rata orang dewasa atau sedikit kurang.
Panjang proporsional dari pegangannya menunjukkan bahwa pedang itu
dimaksudkan untuk dipegang dengan kedua tangan.
Hal yang membuat
pedang-pedang itu jelas berbeda dari pedang biasa adalah struktur
pisaunya. Saat Willem mengamatinya dari jarak yang lebih dekat, dia bisa
melihat celah-celah yang melintang di sepanjang pedangnya. Melihatnya
dengan lebih fokus lagi akan mengungkapkan bahwa bagian-bagian dari
kedua sisi retakan ini memiliki sedikit perbedaan warna, menunjukkan
bahwa celah-celah itu sama sekali tidak retak, melainkan terdiri dari
beberapa bagian yang disatukan.
Pedang normal berasal
dari segumpal logam yang dipukul dan dibentuk. Tapi pedang-pedang ini
berasal dari puluhan fragmen baja --hampir seukuran kepalan tangan--
yang dihubungkan bersama dalam bentuk pedang.
"Carrilon ..."
"Jadi, begitukah penamaan yang biasa kalian sebut?"
Saat Willem melihat ke
sekeliling ruangan sekali lagi, dia merasakan rasa sakit yang tiba-tiba
di dadanya. Dia mengenali beberapa pedang itu. Carrilon Seri Mass Percival. Pedang itu telah melindunginya dengan baik saat dia masih menjadi Quasi Brave
baru tanpa senjata khusus. Pedang itu tidak memiliki kemampuan apapun,
tapi dibuat dengan kualitas dasar yang cukup tinggi dan memiliki
fleksibilitas yang luar biasa. Willem dapat melakukan perawatan darurat
terhadap pedangnya bahkan di tengah medan perang. Dia tidak pernah bisa
terbiasa dengan model penerusnya, Seri Dindrane, tapi mendapat pujian dari Quasi Braves lainnya karena stabilitasnya yang meningkat.
Locus Solus. Pedang favorit Quasi Brave yang
namanya tidak bisa diingat olehnya, pernah bertempur bersama Willem
saat perang melawan Naga di Selatan. Pedang ini memiliki kemampuan untuk
menstimulasi otot, tapi karena kemampuan penyembuhannya payah, ototmu
akan selalu sakit seperti di neraka sehari setelah pertempuran - Willem
ingat rekannya mengeluhkan hal itu.
Di sampingnya duduk Mulusmaurea. Seorang rekan Quasi Brave
telah membawanya ke pertempuran saat mereka dipanggil sebagai bala
bantuan untuk mempertahankan kota Listiru. Dia tidak pernah sempat
melihat kemampuanya saat bereaksi, tapi dia mendengar bahwa Carrilon itu memiliki kemampuan untuk menangguhkan kematian dalam waktu singkat.
"Heh ..."
Rasanya seperti reuni
kelas yang sangat aneh. Dia menjatuhkan diri ke tanah, tidak peduli jika
seragam tentaranya kotor. Willem dengan ringan menyalakan Venom-nya, berkonsentrasi dan memberi matanya kemampuan untuk melihat spell vein,
mengabaikan rasa sakit yang dihasilkannya di kepala. Seperti yang dia
duga, semua pedang berada dalam kondisi buruk. Garis mantra telah
dilepas, dipotong dan diacak seenaknya.
Bahkan dengan pedang jelek ini, mereka masih terus berjuang?
"Ada satu hal yang ingin aku tanyakan kepadamu."
"Apa itu?"
"Carrilon
diciptakan untuk Emnetwyte dan oleh Emnetwyte, keajaiban buatan manusia.
Hanya kelompok yang dipilih dari ras yang sama yang bisa
memanfaatkannya. Sekarang, benda-benda ini seharusnya tidak lebih dari
barang antik yang tidak berguna. Jadi, mengapa kalian masih mengumpulkan
Carrilon? Bagaimana kau bertarung dengan benda-benda ini?"
"Kau sudah tahu jawabannya, bukan?"
Karena ... kita juga seorang Braves?
Mengabaikan suara gadis kecil itu di kepalanya, Willem bertanya lagi. "Katakan padaku."
"Jika Emnetwyte tidak ada lagi, kita hanya butuh penggantinya. Anak-anak itu adalah Leprechaun. Satu-satunya ras yang bisa berperan sebagai pengganti Emnetwyte. Itu adalah jawaban yang kau cari."
"... jadi begitu."
Jauh di lubuk hati,
Willem sudah memikirkannya. Dia berdiri, menyeka debu dari dasar
tubuhnya, dan mengalihkan tatapannya ke arah Carrilon yang berjejer.
"Jadi, rekan kalian sekarang adalah para gadis itu, ya?"
Dengan nada kesepian, kesombongan, dan kesedihan, seolah berbicara dengan teman lamanya, Willem menggumamkan kata-kata itu.
***
Aku ini apa?
Pikir Willem pada dirinya sendiri. Beberapa urutan kejadian muncul dalam
pikirannya. Seseorang yang pernah bercita-cita menjadi Regular Brave. Seseorang yang pernah memegang Carrilon sebagai Quasi Brave.
Dan yang terakhir, orang yang kehilangan kualifikasi tersebut dalam
pertempuran dan sekarang hidup seperti cangkang yang kosong.
Untuk menjadi Regular Brave,
seseorang membutuhkan latar belakang yang sesuai. Misalnya, kau harus
memiliki darah Dewa di dalam dirimu. Atau kau adalah keturunan seorang Brave.
Atau kau lahir pada malam spesial yang disebutkan dalam beberapa
ramalan. Atau kampung halamanmu telah dihancurkan oleh Naga. Atau ayahmu
telah menurunkan teknik pedang rahasia padamu. Atau tubuhmu memiliki
iblis kuat yang disegel di dalamnya. Semua Braves memiliki
beberapa latar belakang seperti itu. Hanya orang-orang yang disetujui
semua orang yang mampu menangani kekuatan manusia yang benar-benar
memiliki kesempatan untuk memahaminya.
Jadi, Willem tidak bisa menjadi Regular Brave.
Tidak peduli berapa pun yang dia inginkan, dia sama sekali tidak
memenuhi kualifikasi. Orangtuanya menjalani kehidupan sederhana dan
bekerja di bisnis kapas. Dia tumbuh di panti asuhan biasa, tidak terlalu
senang tapi juga tidak terlalu menderita. Tentu, latar belakang biasa
hanya bisa memberinya kekuatan biasa. Dia sama sekali tidak bisa
melakukan hal itu. Pasti menyenangkan jika dia setidaknya lahir di
lingkungan sekolah pedang kelas atas atau semacamnya, tapi sayangnya
dunia sepertinya tidak memihak pada Willem.
"Kau tidak memiliki bakat." Suatu saat, pengurus panti mengatakan kata-kata itu kepadanya. "Sistem Braves
pada dasarnya sangat elit. Pahlawan legendaris ... mereka yang lahir
dengan darah seorang dewa ... sistem yang diciptakan untuk memberi
orang-orang semacam itu kemampuan untuk membuka kekuatan yang lebih
besar lagi. Mereka hidup di dunia yang sama sekali berbeda dengan kita
yang hanya seorang pejuang sederhana yang berjuang untuk meraih
kemenangan dalam skala yang jauh lebih kecil. Mereka membawa seluruh
dunia di punggung mereka."
Master
menggelengkan kepalanya. "Setiap manusia normal tidak akan dapat
memenuhi tujuan itu. Bahkan jika kau memaksakan dirimu sendiri, kau akan
segera gagal ... maka, tidak mampu bertarung akan menjadi hal yang
paling sedikit kau khawatirkan. Dan Willem, sayangnya, kau adalah
manusia normal."
Sebuah keheningan
singkat mulai mengisi percakapan mereka. Master menarik napas
dalam-dalam dan memberikan pidato terakhirnya. "Jangan buat wajah
seperti itu ... aku tidak sedang seperti menikmati setelah menghancurkan
mimpimu. Ini hanyalah kebenaran yang harus kuberitahu dan kenyataan
yang harus kau hadapi. Itu saja."
Saat mendengar kata-kata
itu, Willem membantahnya. Dia terus dengan keras kepala menolak untuk
menyerah. Melihat ke belakang, ini mungkin reaksi kekanak-kanakan. Tapi
saat itu, dia sudah sangat serius. Dia memilih untuk menentang kata-kata
master-nya sampai akhir yang pahit.
Willem mengingat generasi ke-20 Regular Brave yang ditunjuk oleh Gereja. Dia tidak hanya mewarisi darah dari Regular Brave pertama, tapi juga telah lahir sebagai pewaris kerajaan. Ketika usianya baru sembilan tahun, tentara Gloom Elf
menyerang kerajaan tersebut, membakar segala sesuatu yang dia sayangi
menjadi abu. Orangtuanya, teman-temannya, dan kampung halamannya.
Sementara kastilnya hancur dilahap api, dia melarikan diri ke sebuah
desa terpencil yang jauh dimana dia mempelajari teknik pedang yang telah
lama hilang di bawah jenderal tentara tua.
Ketika Willem pertama
kali mendengar tentang sejarah pria itu, dia hampir tidak bisa melakukan
apapun kecuali menghela napas. Akhirnya melihat bukti apa yang
dibutuhkan untuk menjadi Regular Brave, itu sedikit menyakitkan. Ketika orang yang baru ditunjuk itu menerima pedang tercinta Regular Brave yang ke 18, Seniorious,
salah satu dari lima pedang suci tingkat tertinggi di seluruh dunia,
dia tidak dapat membuat dirinya merasa tidak cemburu atau benci. Dia
sudah pesimis memikirkannya. Semuanya ada di dunia yang berbeda darinya.
Membandingkan dirinya dengan hal itu hanya bisa membuatnya lebih
menderita.
Beberapa lama kemudian,
Willem sadar. Orang itu punya alasan untuk bertarung. Dia punya alasan
untuk bertarung. Dia punya alasan mengapa dia harus bertarung. Itu
sebabnya semua orang, termasuk Willem, tidak menyadarinya. Tidak ada
yang membayangkan kemungkinan itu.
Dia. Generasi ke-20 Regular Brave.
Terlahir dengan kekuatan untuk mengalahkan iblis terkuat, menahan rasa
sakit karena kehilangan orangtua dan kampung halamannya, membawa teknik
rahasia masa lalu kuno dengan memegang pedang bersinar yang mampu
melawan bahkan para Visitor.
Orang itu tidak pernah
ingin bertarung. Dia hanya melemparkan dirinya ke dalam perang balas
dendam karena memang tidak punya pilihan lain. Dia menantang Naga dan
para dewa itu sendiri karena ia harus memenuhi harapan orang lain. Dia
hanyalah boneka yang dimanipulasi oleh kekuatannya sendiri dan keinginan
orang-orang yang bisa menggunakannya.
Begitu Willem menyadari
hal itu, ia mulai membencinya. Dia tidak akan pernah bisa memaafkannya.
Dan, jujur saja, dia masih membawa beberapa perasaan itu bahkan sampai
sekarang.
***
Saat matahari terbenam di bawah cakrawala, hujan ringan mulai menetes.
"Harus membuka payung ..." gumamnya pelan, tapi dia sebenarnya tidak ingin berlindung atau kembali ke kamarnya.
Pulau ke-68, distrik
pelabuhan. Tempat yang ada di seluruh pulau itu berisi semua fasilitas
yang diperlukan untuk keberangkatan dan kedatangan kapal. Dia berdiri di
tempat terbuka di dekat tepi pelabuhan, membiarkan dirinya rentan
terhadap tetes hujan yang turun. Beberapa awan berbentuk seperti kapas
robek melayang di bawahnya. Bahkan lebih jauh lagi di balik itu, ia
melihat hamparan tanah yang luas menyebar ke segala arah. Dataran itu
tidak mengandung jejak hijau hutan atau biru sungai dan samudera maupun
padang pasir yang kuning. Pemandangan di depan matanya hanya berisi
lautan pasir abu-abu yang aneh dan berlumpur.
Dia datang ke pelabuhan
untuk tujuan melihat pemandangan itu. Dia ingin mengkonfirmasi hal-hal
yang telah hilang, hal-hal yang tidak dapat dia ambil kembali. Tapi tak
lama kemudian, bahkan gurun abu-abu itu mulai meleleh menjadi kegelapan
malam yang mutlak.
Ada beberapa hal yang bisa dia setujui. Misalnya, penggunaan Venom itu. Venom
sedikit menyerupai panas, atau nyala api. Pertama-tama kau menyalakan
api di dalam tubuhmu, memberi makan api, lalu mentransfer kekuatannya ke
luar. Tapi panas ini menempatkan beban pada tubuh pengguna. Jika kau
mencoba memanggil api di luar kekuatan tertentu, energi kehidupanmu
sendiri akan mencekikmu. Mekanisme ini menempatkan batas atas yang
melekat pada jumlah Venom yang dapat digunakan oleh ras yang berbeda.
Jadi, jika ada beberapa bentuk kehidupan yang tubuhnya tidak sepenuhnya hidup, maka ia bisa menghasilkan sejumlah besar Venom
jauh melampaui apa yang diharapkan oleh ras lain. Kekuatan itu --yang
kemungkinan besar tidak terkendali-- akan segera menjadi liar dan
menyebabkan ledakan raksasa, menghempaskan pengguna dan musuhnya, hanya
meninggalkan lubang menganga dengan satu Carrilon di pusatnya.
Mungkin itu sebabnya mereka disebut senjata rahasia. Ini mungkin bukan
yang paling efisien, mengingat hanya satu kali mereka hidup, tapi hanya
memiliki hal itu sebagai pilihan membawa makna dan nilai yang
signifikan.
Satu hal lagi yang bisa
dia setujui, mereka pasti kuat. Sebuah ras yang dibesarkan untuk perang.
Seluruh hidup mereka dihabiskan untuk tujuan kemenangan semata. Membawa
nasib itu sendiri membuat gadis-gadis itu layak. Layak menjadi penerus Regular Brave.
Mereka bisa menjadi hal yang sulit dicapai Willem dahulu. Besar. Hebat.
Mereka mungkin menginginkan hal itu juga. Dalam hal ini, dia seharusnya
bahagia untuk mereka. Dia harus memberkati mereka. Woohoo, mengagumkan! Aku akan meninggalkan sisanya untukmu! Semoga berhasil!
"... Aku ingin mati..."
Tentu saja, Willem tahu.
Logika yang sangat cacat telah diciptakan oleh pikirannya sendiri dalam
usaha putus asa untuk menghibur dirinya sendiri. Berdiri di sini
sendirian membuat pikirannya menjadi liar. Mungkin akan lebih baik untuk
berbicara dengan gadis-gadis itu secara langsung tentang bagaimana
perasaannya. Tapi pada akhirnya, apa yang bisa dia lakukan? Orang luar
yang tidak relevan tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam perang
para Braves.
"- hm?"
Di atas kepalanya, sinar
yang menyerupai matahari bersinar terang, membelah awan awan yang
tebal. Sebuah kapal terbang mendekat. Dia tidak bisa melihat siluetnya
dengan baik melawan cahaya yang menyilaukan di baliknya, tapi dia tahu
pasti bahwa itu bukan kapal patroli biasa atau kapal penyeberang.
Rasanya agak kecil, tapi kemungkinan besar itu adalah kapal pengangkut
tentara.
Suara penggilingan logam
dalam terdengar di udara lembab saat pesawat itu berlabuh di pelabuhan.
Terdengar bunyi meletus yang berasal dari hantaman piston. Tiga jangkar
mengikat bagian belakang, tengah, dan depan kapal ke dermaga. Sepasang
rotor menghentikan gerakannya. Reaktor mantra pembakaran secara bertahap
ditutup, menurunkan suara gemuruh yang memekakkan telinga yang telah
dibuatnya.
Pintu masuk utama kapal dibuka, memperlihatkan dua sosok manusia yang melangkah keluar dari dalam.
"Kalian..."
Willem langsung mengenali keduanya sebagai Leprechauns,
Chtholly dan Ithea. Mereka berdua mengenakan seragam tentara wanita
informal, sebuah pakaian yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Ada
yang tidak beres. Ithea dengan ekspresi muram di wajahnya berjalan
dengan lunglai, membawa Chtholly yang bersandar di bahunya.
"Hei hei, Willem,
Teknisi Tingkat Kedua, selamat malam." Dia berbicara dengan nada ceria
yang biasa. "Tentu tempat yang aneh untuk bertemu, huh? Sedang
jalan-jalan di tengah hujan?"
Ithea mungkin
menganggapnya sebagai lelucon atau tebakan yang sengaja salah dalam
usahanya untuk mencegah topik dari situasi mereka sendiri. Tapi itu
memang cara yang cukup benar. Yah, bukannya hal itu penting. Willem
tidak akan membiarkan mereka menghindari topik pembicaraan.
"Apa yang terjadi dengan kalian?"
"Hmm ... kita berada
dalam situasi yang sama sepertimu. Hanya berjalan-jalan sebentar di luar
pulau ... maukah kau menerimanya sebagai penjelasan?"
"Tentu saja tidak, aku
kira ini ...." Dia tersendat. Entah apakah akan lebih baik bertanya
lebih jauh, dia tidak tahu, tapi dia perlu. "Kau baru saja kembali dari
pertempuran, bukan? Dengan '17 jenis binatang buas'."
"Ahaha, bagaimana kabarmu?"
Chtholly tidak
mengucapkan sepatah kata pun sejak turun dari kapal. Ingin melihat
betapa parahnya dia terluka, Willem mendekatinya.
"Ah - dia baik-baik
saja. Tidak ada yang bisa kau lakukan untuknya. Jika kau ingin membantu,
mungkin kau bisa mengatasinya di sana."
Dengan matanya, Ithea
menunjukkan bahwa sosok besar itu berdiri di belakang mereka. Sisik
putih susu menutupi seluruh tubuhnya dimana ia mengenakan seragam
tentara. Sambil meringkuk meremas-remas pintu, raksasa itu mulai lamban
keluar dari kapal. Di kepalanya, sepasang mata terbuka dan terkunci pada
Willem.
- itu adalah Reptrace yang Willem pernah lihat satu kali.
"Seragam itu ... aku
menganggap bahwa kau adalah Willem?" Dia memiliki suara yang
mengintimidasi, seperti desisan ular. Karena struktur tenggorokannya
yang berbeda, Reptrace selalu memiliki pengucapan yang aneh, bahkan saat berbicara dengan bahasa lidah umum di pulau-pulau.
"Yeah ... dan kau?"
"Bawa ini," perintah Reptrace,
sama sekali mengabaikan pertanyaan Willem dan menyerahkan padanya, atau
lebih tepatnya melemparkannya ke arah Willem dua benda panjang dan
tipis.
Secara reflek, Willem
mengulurkan tangannya untuk menangkapnya. Tapi barang itu --yang tidak
begitu besar jika dibandingkan dengan tubuh raksasa Reptrace-- hampir melampaui ukuran Willem. Demikian juga, sementara Reptrace
telah mampu menahannya dengan mudah dan membuangnya, itu terlalu berat
untuk otot manusia normal manapun. Dia gagal meraihnya dan benda-benda
itu jatuh ke tanah, membuat suara logam berdentang.
"Ini adalah ..."
Benda yang dibungkus erat oleh kain putih adalah dua pedang berukuran sangat besar.
"Kedua senjata ini. Bawa kembali ke tempat penyimpanan." Reptrace mengulangi perintahnya dan mulai kembali ke dalam pesawat.
"H-Hey!"
"Kau tidak punya hak
untuk mengatakan apapun. Di tempat di mana seorang pejuang berdiri,
orang yang bukan pejuang tidak bisa masuk."
Dengan itu, pintu tertutup rapat, menyembunyikan tubuh Reptrace seperti punggung.
"Ah, jangan khawatir
tentang dia. Pak Lizard memang selalu seperti itu," kata Ithea riang.
"Juga, jika kau bisa membawa pedang-pedang itu, hal tersebut akan
menjadi super sangat membantu. Seperti yang kau lihat tanganku penuh
dengan Chtholly."
"Apakah dia terluka?"
"Tidak, dia hanya
terlalu bersemangat, jadi dia merasa sedikit pingsan. Setelah
beristirahat di klinik, dia akan baik seperti baru."
"Begitukah."
Willem mengangkat salah
satu pedang yang terbaring di kakinya. Bahkan melalui pembungkus kain
tebal, ia bisa merasakan teksturnya yang familiar. Dan meski dengan
pencahayaan yang kurang, dia bisa mengenali bentuknya yang tak salah
lagi.
"Seniorious ..."
"Oh, kau tahu pedang itu dengan sangat baik."
Tentu saja dia tahu. Tidak ada satu Quasi Brave
pun yang hidup selama waktu itu yang tidak tahu nama pedang ini.
Berayun ke kanan dan naga akan terbunuh. Berayun ke kiri dan dewa akan
terluka. Salah satu Carillon pertama yang pernah dipalsukan.
Pembakar Naga Coklat. Penghancur dewa. Pedang rahasia dari sarung pedang
putih. Pedang ini telah mengumpulkan banyak julukan dari sejarahnya
yang panjang dan banyak prestasi yang cukup untuk dibuatkan sebuah buku.
Sebuah Carrion di antara Carrilon. Partner generasi ke 18 sampai ke-20 Regular Braves, merupakan simbol kepahlawanan.
"Apakah ini milikmu?"
"Itu milik Chtholly, aku ditugaskan memegang yang satunya."
Willem mengangkat pedang kedua.
"Mhmm, sepertinya kau cukup berpengetahuan, apakah kau sudah membaca daftar peralatan atau apapun?"
"Tidak ...." Dia menggelengkan kepalanya. "Kebetulan saja aku tahu banyak tentang pedang ini."
"Ah, aku tidak begitu yakin apa yang kau maksud dengan itu, tapi oke," kata Ithea sambil memiringkan kepalanya.
"Aku juga akan membawanya."
"Hah? Tunggu ..."
Willem mengangkat
Chtholly yang lemas dan membawanya ke punggungnya. Di belakang mereka,
sebuah suara metalik melengking mengisyaratkan kepergian kapal dari
pelabuhan.
"... kau lebih kuat dari yang aku duga," gumam Ithea yang sekarang tidak memiliki apapun untuk dibawa.
"Ini tugasku untuk menjaga kalian sekarang."
"Ohh, kedengarannya keren, ya?"
Willem memulai perjalanan panjang kembali bersama dengan Ithea yang mengikuti setengah langkah di belakang.
"Jadi, seberapa banyak yang kau tahu tentang kita?"
"... tidak banyak, aku tahu bahwa kau adalah seorang peri ... dan kau berjuang untuk melindungi pulau-pulau itu bersama Carillon ... atau lebih tepatnya Dug Weapons, itu saja."
"Hmm ... jadi begitu." Ithea menatap langit. "Meremehkan, bukan? Hidup yang sekali pakai. Menggunakan relik dari Emnetwyte yang diremehkan. Sebuah setting yang cukup menjijikkan jika kau bertanya kepadaku."
"Jangan bilang setting ... kau bukan tokoh dalam sebuah cerita."
Tapi dia benar sekali. Setelan sempurna yang dia bicarakan pada intinya adalah semua yang dibutuhkan Brave. Semakin sedih dan semakin tragis justru semakin baik. Nasib mereka semua berkisar pada setting itu yang akan memberi mereka kekuatan untuk menggunakan artefak kuno Emnetwyte. Tidak masalah jika mereka menginginkannya atau tidak.
"Dulu sekali ... aku mengenal seseorang yang sedang dalam situasi sangat mirip dengan kalian."
"Ooh, cerita lama?"
"Ini tidak cukup lama
untuk menjadi sebuah cerita lama. Aku banyak berhutang padanya dan aku
tidak pernah mendapat kesempatan untuk melunasi semua hal yang dia
lakukan. Jadi, ketika aku mendengar tentang kalian, aku merasa harus
melakukan sesuatu untuk membantu semuanya."
"Wow ... itu benar-benar pendek."
"Aku sudah bilang..."
Ithea menendang batu yang tergeletak di jalan dengan ekspresi bosan di wajahnya.
"Hmm .. apakah ini
bagian dimana kau membuka hatimu padaku dan mencoba untuk membangun
cinta kita? Karena hanya kita berdua yang berada di sekitar sini."
"Apa kau sudah melupakan seseorang yang ada di punggungku?"
"Chtholly-lah yang akan
terbangun di tengah-tengah pembicaraan kita dan mendengar semuanya, kau
tahu? Lalu akan terjadi kecemburuan cinta yang indah, cerita yang penuh
cinta."
"Apa yang baru saja kau baca akhir-akhir ini?"
"Segitiga Teror."
Willem pernah mendengar
judul itu sebelumnya. Cerita ini terjadi di sebuah pulau terapung fiktif
dimana karakter tersebut berulang kali terlibat dalam kecurangan dan
perzinahan, mengklaim bahwa mereka mencari cinta sejati.
Terjebak di hutan ini
membuat hampir seluruh hidup mereka hanya dihabiskan dengan gadis-gadis
lain --dan Nygglatho--. Mereka harus belajar tentang masyarakat entah
bagaimana. Rupanya, mereka mengumpulkan informasi dari sumber seperti
ini ---yang sedikit tidak akurat-- untuk sedikit pengetahuan.
"Aku khususnya menyukai buku ketiga, itu adalah mahakarya."
"Ingatkan aku untuk menyita buku itu kalau kita sudah sampai. Anak-anak tidak boleh membaca buku semacam itu."
"Hal itu adalah penindasan! Siapa yang kau panggil anak-anak, huh? Juga, kau menilai semuanya hanya dari judul?!"
Banyak bentuk hiburan
dan kesenangan mengalir melalui Pulau ke-28 yang agak merosot.
Berkeliling dari pekerjaan ke pekerjaan, Willem sering mendengar gosip
tentang semua orang gila akhir-akhir ini. Bagaimanapun, dia memutuskan
untuk mengabaikan semua pertanyaan Ithea.
"Jaga suaramu ... dia akan terbangun."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar