Chapter 3 : Hutan di Langit

Senin, 31 Juli 2017

Part III : Peri Gudang



Chtholly sangat tidak menyukainya. Dia selalu menganggap Chtholly sebagai adik perempuannya dan memperlakukannya seperti itu. Tentu saja peri --yang tidak lahir dari kandungan ibu manapun-- sebenarnya tidak bisa memiliki saudara perempuan atau pun saudara kandung dalam bentuk apapun. Tapi gadis itu membenarkan hubungan kakak dan adik mereka hanya karena mereka berasal dari hutan yang sama di pulau terapung yang sama atau dia datang lima tahun lebih awal dari pada Chtholly. Menarik fakta kebetulan itu untuk menjadi bukti hanya membuat Chtholly semakin terganggu.

Dia rupanya memiliki keahlian yang hebat ketika menggunakan Dug Weapons, satu hal lagi yang tidak disukai oleh Chtholly. Chtholly ingat saat melihatnya terbang menuju medan perang, memamerkan pedang besarnya, lalu meluncur pulang dengan senyum lebar di wajahnya. Tepat setelah kembali, dia akan selalu masuk ke ruang makan dan memesan kue mentega --sebuah makanan yang ada di daftar menu pada saat itu-- dengan ekspresi kebahagiaan murni.

Pada suatu saat, Chtholly yang masih kecil dan belum berpengalaman itu memutuskan untuk bertanya kepadanya akan sesuatu.

"Mengapa kau selalu memakai bros itu meskipun tidak terlihat bagus untukmu?"

"Ahaha kau terlalu jujur, Chtholly. Kau akan membuat kakak perempuanmu menangis, kau tahu?"

"Kau bukan kakak perempuanku ..."

"Ehh? Mana mungkin aku yang menjadi adik perempuanmu."

"Maksudku, kita sama sekali tidak bersaudara."

Setelah beberapa menit menikmati olok-olok ringan di antara mereka, dia sedikit menurunkan senyumannya.
"Aku pernah memiliki figur seorang kakak perempuan juga. Aku mengambil bros ini darinya."

"Mengambil? Dia tidak memberikannya padamu?"

"Bros ini adalah salah satu harta karunnya. Dia selalu memakainya dan merawatnya dengan baik, jadi setiap kali aku memintanya, dia tidak mau mendengarkan." Pada titik ini, Chtholly berpikir bahwa dia lebih jahat dari sebelumnya karena telah mencuri barang penting dari seseorang, tapi dia malah menertawakan tatapan menghakimi Chtholly. "Aku menantangnya ke berbagai permainan, menuntut bros ini jika aku menang. Seperti nilai dalam kursus pelatihan kami, kontes makan, atau permainan kartu. Tapi aku tidak pernah menang. Meski begitu, aku terus menantangnya karena itu menyenangkan."

Chtholly sudah bisa melihat bagaimana ceritanya akan berakhir. Jika Chtholly tidak mengetahui sosok kakak perempuan dari kakak tirinya, itu berarti dia sudah pergi pada saat Chtholly datang. Chtholly tetap diam, tidak ingin bertanya tentang hal itu, tapi hal itu pasti terlihat di wajahnya.

'Kakak perempuannya' menepuk punggungnya dan melanjutkan. "Nah pada akhirnya, aku menang tanpa harus bertanding. Suatu hari, dia pergi berperang tanpa brosnya. Dia baru saja meninggalkannya di atas meja di kamarnya, jadi sejak saat itu benda tersebut menjadi milikku." Dia tertawa, meski Chtholly tidak dapat melihat sesuatu yang lucu tentang ceritanya. "Aku pikir juga benda ini tidak cocok untukku ... tapi aku merasa harus memakainya."

Sekali lagi, Chtholly sangat tidak menyukainya. Tapi, melihat ke belakang, mungkin dia sama sekali tidak buruk. Jadi, pada hari dimana dia tidak pernah pulang dari pertempuran, Chtholly pergi ke kamarnya. Di balik pintu yang terkunci itu, terlihat pakaian dalam yang berantakan, permainan kartu, dan aneka barang-barang lainnya yang bertebaran. Di tengah kekacauan, hanya bagian atas mejanya yang bersih. Bros perak duduk sendirian di tengahnya.

***

Selama beberapa hari terakhir, Willem tidak melihat peri-peri tertua di gudang. Chtholly, Ithea, dan Nephren. Semua gadis yang berusia paling tua sepertinya telah menghilang entah ke mana. Setelah memikirkannya sebentar, dia menduga pasti ada keadaan khusus dan memutuskan untuk tidak melanjutkan pencarianya lebih jauh lagi. Tanpa berpikir panjang, dia hanya menerima situasi ini.

Tanah masih menahan kelembaban dari hujan pagi. Tim merah, yang telah berjuang sepanjang paruh pertama pertandingan, baru saja mulai membalas serangan tersebut. Motivasi anggota tim semakin meningkat dan mereka semua sepakat untuk mengarahkan bola tepat ke wajah kapten tim putih pada babak kedua.

Angin yang kencang tiba-tiba meniup saat bola melayang di udara, melayangkan bola itu menembus tebing padat. Gadis yang mengejar bola tersebut kebetulan adalah tipe orang yang tidak pernah menyerah dan tidak memperhatikan kakinya saat melihat langit. Memikirkan kondisi tersebut hanya menghasilkan satu kemungkinan. Bertekad untuk menangkap sasarannya, gadis itu akhirnya terjatuh setelah menabrak tebing terlebih dahulu.

"Hei! Apa kau baik baik saja?!"

"Ow ow ... itu adalah sebuah kegagalan."

Kecelakaan itu tampak cukup buruk. Tidak mengejutkan jika dia mengalami cedera yang sangat serius, jadi saat gadis itu berdiri sambil tertawa terbahak-bahak, Willem menarik napas lega. Sesaat kemudian, dia terbelalak ketakutan. Sebuah luka yang dalam terlihat pada paha kiri gadis itu dan lengan kanan atasnya tertusuk oleh cabang tipis. Untungnya, dilihat dari jumlah darah yang keluar, arterinya kemungkinan besar belum rusak, tapi tetap saja itu adalah luka yang fatal.

"Lukanya terlihat sangat buruk. Aku akan segera merawatnya."

"Ehh? Aku baik-baik saja," gadis itu menanggapinya dengan acuh tak acuh. "Omong-omong, mari bermain lagi! Mari bermain lagi! Kita lanjutkan lagi pertandingannya!"

Willem tidak bisa mempercayai telinganya. Mungkin luka-luka itu tidak seserius kelihatannya? Tapi tidak peduli berapa kali dia memeriksanya, dia yakin bahwa luka-lukanya perlu segera dirawat atau hidup gadis itu mungkin akan dalam bahaya.

"... apa tidak sakit?"

"Tentu saja menyakitkan. Tapi, kau tahu, kita semua baru saja bersemangat kembali!" Gadis itu menampilkan senyum lebar di wajahnya, dengan penuh semangat memberi isyarat kepada Willem untuk memulai kembali permainannya.

Dia akhirnya mulai mengerti situasinya. Seperti katanya, sebenarnya ada rasa sakit dan mungkin sangat menyakitkan. Gadis ini --dan gadis-gadis lain yang tampaknya tidak menyadari kalau ada sesuatu yang tidak wajar tentang perilakunya-- sama sekali tidak menganggap luka sebagai masalah besar. Rasa gemetar mulai menembus tulang punggungnya. Dia merasa seolah dikelilingi makhluk tak dikenal dan misterius. Atau mungkin itu bukan hanya perasaannya sama sekali, melainkan kenyataan bahwa dia telah gagal mengerti situasinya sampai sekarang.

"Pertandingan berakhir."

Keluh kesah bangkit dari gadis-gadis itu sebagai protes, tapi Willem tidak memerhatikannya dan bergegas masuk ke dalam gudang, membawa gadis yang terluka itu dalam pelukannya.

"... Jadi, mengapa orang yang depresi di sini bukan orang yang terluka, tapi malah seseorang yang baru saja membawanya?" Mengenakan gaun putih di atas pakaian normalnya, Nygglatho menanyai Willem.

Gadis itu berbaring di atas tempat tidur di dekatnya dengan anggota tubuh yang terbungkus perban, cemberut karena permainan bolanya dihentikan. Willem duduk di kursi, kepalanya terkubur di tangannya.
"Aku tidak menyadarinya sampai hari ini ... gadis-gadis itu sepertinya tidak memiliki banyak keterikatan pada kehidupan mereka sendiri, bukan?" Dengan memegang sikap itu, dia bertanya kepada Nygglatho, seseorang yang dia harap mengetahui sesuatu.

"Hmm, aku pikir mereka pasti memiliki kecenderungan itu."

"Itu tidak normal ... apa sebenarnya mereka?"

Nygglatho berhenti sejenak dan mendesah, lalu bertanya kembali, "kau benar-benar ingin tahu itu?"
Willem akhirnya mendongak.

"Kau adalah pengurus mereka, meskipun itu mungkin hanya sebuah status. Jadi, jika kau meminta informasi tentang mereka, maka aku tidak dapat menolaknya." Suaranya terdengar lebih serius. "Sejujurnya, aku tidak ingin memberi tahumu. Setelah mendengar ini, kau akan mengubah sikapmu terhadap anak-anak itu. Awalnya, aku pikir kau sedikit menyeramkan, tapi sekarang aku bersyukur bahwa dirimu sangat baik kepada mereka. Jika memungkinkan, aku ingin hal-hal seperti ini berlangsung lama."

"... tolong beritahu aku."

"Baiklah ... kurasa aku tidak punya pilihan." Pundak Nygglatho merosot. "Sebenarnya, anak-anak itu tidak benar-benar hidup. Tubuh mereka tidak takut mati karena mereka memang tidak hidup. Pikiran mereka berbeda, tapi di usia muda mereka hanya mengikuti naluri tubuh mereka dan dengan mudah menjadi ceroboh."

"Maaf ... aku tidak mengerti sepatah kata pun yang kau katakan."

Tidak benar-benar hidup, lelucon macam apa itu? Bagaimana mungkin gadis-gadis keras kepala, energik, dan ceria yang dilihatnya setiap hari itu tidak benar-benar hidup?

"Hmm ... aku juga tidak mau mempercayainya saat pertama kali mendengarnya," gumam Nygglatho pelan. Dia berjalan keluar ruangan dan menunjuk Willem. "Ikuti aku. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."
Willem dengan lamban berdiri dan mengejarnya, masih sangat bingung.

"Emnetwyte. Aku menilai kau tahu banyak tentang mereka?"

"... hanya sebanyak yang diketahui orang-orang."

"Tidak perlu merendah." Dia terkikik. "Spesies legendaris yang menguasai tanah lebih dari lima ratus tahun yang lalu. Mereka tidak diberkati dengan bakat khusus ..."

Dikatakan bahwa Emnetwyte tidak memiliki ukuran semenakutkan para Gigants. Mereka tidak memiliki seni sihir seperti para Elf. Keterampilan bangunan mereka lebih rendah bila dibandingkan dengan tradisi orang Moleian. Tingkat reproduksi mereka tidak akan pernah bisa mengalahkan Orc. Dan tentu saja, mereka juga tidak memiliki kekuatan para Naga yang luar biasa. Meskipun memiliki keberadaan yang lemah tanpa kemampuan superior, Emnetwyte menguasai daratan untuk jangka waktu yang lama, menangkis serangan dari hampir semua ras lainnya.

"Ah ... aku tahu."

"Dan satu hal lagi, mereka terasa jauh lebih lezat daripada ras lainnya. Fakta itu telah diturunkan dari generasi ke generasi Troll. "

Legenda itu perlu dihilangkan. Serius.

"Salah satu alasan utama kekuatan mereka adalah sistem persenjataan mereka yang sekarang dikenal dengan nama Dug Weapons."

"... aku pernah mendengar sebelumnya. Anaala menyebut sekali bahwa jika kau menemukan Dug Weapons yang masih berfungsi, benda itu akan mudah menutupi biaya beberapa penyelamatan harta berikutnya."
"Mhm. Perusahaan Perdagangan membelinya dengan harga minimal 200.000 bradal. Aku pikir yang tertinggi mencapai 8.000.000 bradal."

Delapan juta. Uang itu bisa untuk melunasi seluruh hutang Willem yang cukup besar lima puluh kali dan masih tersisa beberapa ratus ribu.

"Dan ... semua Dug Weapons yang dikumpulkan oleh Perusahaan Perdagangan ..."

Nygglatho berhenti berjalan saat mereka tiba di depan pintu yang luar biasa besar dan kokoh. Lapisan logam tebal menutupi keseluruhannya dengan tonjolan tajam menonjol dari tepinya. Sistem pengunciannya tampak lebih rumit daripada lubang kunci biasa dan gagang pintu yang menyertainya terasa sangat berat. Di "gudang" ini dipenuhi dengan pintu, pintu di depan mereka sendiri berfungsi sebagai pengingat status resminya sebagai fasilitas tentara.

"... ada di dalam ruangan ini."

Nygglatho membuka pintu dengan mudah dan mendorongnya terbuka. Suara yang dalam seperti gemuruh perut bergema di sepanjang lorong. Cetakan dan debu bercampur menjadi bentuk yang tidak enak. Bau lembab masuk ke hidung Willem.

Ini hampir seperti sebuah makam. Ruangan iu tampak seperti salah satu dari ruangan di mana seorang raja kuno dimakamkan dengan harta karunnya dan perampok makam yang bodoh akan mencoba mencuri beberapa tapi akhirnya dikutuk. Willem tidak pernah benar-benar melihat dengan matanya sendiri, tapi ia mendengar beberapa cerita seperti itu. Nah, apakah kuburan semacam itu masih tetap ada di sana, dia tidak tahu.

Ruangan itu tidak memiliki lampu. Dia bisa mengatakan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kegelapan, tapi dia tidak dapat melihat apa-apa.

"Keamanan yang ketat, ya?"

"Nah, ada banyak hal berbahaya yang dikumpulkan di sini."

Pasangan itu berdiri diam, menunggu mata mereka mulai terbiasa dengan kegelapan.

"Senjata masa lalu kuno yang cara pembuatan, perbaikan, dan penggunaanya telah hilang selamanya. Senjata yang dibuat oleh ras lemah untuk mengalahkan Dragons dan Visitors yang sangat kuat. Senjata yang melambangkan keinginan untuk melawan dan kekuatan untuk bertarung. Senjata yang meski dipegang oleh satu orang, bisa mengubah hasil keseluruhan perang."

Isi bayangan ruangan mulai terlihat.

"Haha ...." Willem tertawa gugup.

Melawan satu dinding bersandar belasan pedang. Meski masih belum bisa melihatnya dengan jelas, pedang-pedang itu jelas jauh lebih besar daripada pedang panjang biasa yang biasa digunakan hanya untuk keperluan seremonial atau pertarungan pribadi. Panjangnya bervariasi, tapi sebagian besar terbentang sampai tinggi rata-rata orang dewasa atau sedikit kurang. Panjang proporsional dari pegangannya menunjukkan bahwa pedang itu dimaksudkan untuk dipegang dengan kedua tangan.

Hal yang membuat pedang-pedang itu jelas berbeda dari pedang biasa adalah struktur pisaunya. Saat Willem mengamatinya dari jarak yang lebih dekat, dia bisa melihat celah-celah yang melintang di sepanjang pedangnya. Melihatnya dengan lebih fokus lagi akan mengungkapkan bahwa bagian-bagian dari kedua sisi retakan ini memiliki sedikit perbedaan warna, menunjukkan bahwa celah-celah itu sama sekali tidak retak, melainkan terdiri dari beberapa bagian yang disatukan.

Pedang normal berasal dari segumpal logam yang dipukul dan dibentuk. Tapi pedang-pedang ini berasal dari puluhan fragmen baja --hampir seukuran kepalan tangan-- yang dihubungkan bersama dalam bentuk pedang.

"Carrilon ..."

"Jadi, begitukah penamaan yang biasa kalian sebut?"

Saat Willem melihat ke sekeliling ruangan sekali lagi, dia merasakan rasa sakit yang tiba-tiba di dadanya. Dia mengenali beberapa pedang itu. Carrilon Seri Mass Percival. Pedang itu telah melindunginya dengan baik saat dia masih menjadi Quasi Brave baru tanpa senjata khusus. Pedang itu tidak memiliki kemampuan apapun, tapi dibuat dengan kualitas dasar yang cukup tinggi dan memiliki fleksibilitas yang luar biasa. Willem dapat melakukan perawatan darurat terhadap pedangnya bahkan di tengah medan perang. Dia tidak pernah bisa terbiasa dengan model penerusnya, Seri Dindrane, tapi mendapat pujian dari Quasi Braves lainnya karena stabilitasnya yang meningkat.

Locus Solus. Pedang favorit Quasi Brave yang namanya tidak bisa diingat olehnya, pernah bertempur bersama Willem saat perang melawan Naga di Selatan. Pedang ini memiliki kemampuan untuk menstimulasi otot, tapi karena kemampuan penyembuhannya payah, ototmu akan selalu sakit seperti di neraka sehari setelah pertempuran - Willem ingat rekannya mengeluhkan hal itu.

Di sampingnya duduk Mulusmaurea. Seorang rekan Quasi Brave telah membawanya ke pertempuran saat mereka dipanggil sebagai bala bantuan untuk mempertahankan kota Listiru. Dia tidak pernah sempat melihat kemampuanya saat bereaksi, tapi dia mendengar bahwa Carrilon itu memiliki kemampuan untuk menangguhkan kematian dalam waktu singkat.

"Heh ..."

Rasanya seperti reuni kelas yang sangat aneh. Dia menjatuhkan diri ke tanah, tidak peduli jika seragam tentaranya kotor. Willem dengan ringan menyalakan Venom-nya, berkonsentrasi dan memberi matanya kemampuan untuk melihat spell vein, mengabaikan rasa sakit yang dihasilkannya di kepala. Seperti yang dia duga, semua pedang berada dalam kondisi buruk. Garis mantra telah dilepas, dipotong dan diacak seenaknya.

Bahkan dengan pedang jelek ini, mereka masih terus berjuang?

"Ada satu hal yang ingin aku tanyakan kepadamu."

"Apa itu?"

"Carrilon diciptakan untuk Emnetwyte dan oleh Emnetwyte, keajaiban buatan manusia. Hanya kelompok yang dipilih dari ras yang sama yang bisa memanfaatkannya. Sekarang, benda-benda ini seharusnya tidak lebih dari barang antik yang tidak berguna. Jadi, mengapa kalian masih mengumpulkan Carrilon? Bagaimana kau bertarung dengan benda-benda ini?"

"Kau sudah tahu jawabannya, bukan?"

Karena ... kita juga seorang Braves?

Mengabaikan suara gadis kecil itu di kepalanya, Willem bertanya lagi. "Katakan padaku."

"Jika Emnetwyte tidak ada lagi, kita hanya butuh penggantinya. Anak-anak itu adalah Leprechaun. Satu-satunya ras yang bisa berperan sebagai pengganti Emnetwyte. Itu adalah jawaban yang kau cari."

"... jadi begitu."

Jauh di lubuk hati, Willem sudah memikirkannya. Dia berdiri, menyeka debu dari dasar tubuhnya, dan mengalihkan tatapannya ke arah Carrilon yang berjejer.

"Jadi, rekan kalian sekarang adalah para gadis itu, ya?"

Dengan nada kesepian, kesombongan, dan kesedihan, seolah berbicara dengan teman lamanya, Willem menggumamkan kata-kata itu.

***

Aku ini apa? Pikir Willem pada dirinya sendiri. Beberapa urutan kejadian muncul dalam pikirannya. Seseorang yang pernah bercita-cita menjadi Regular Brave. Seseorang yang pernah memegang Carrilon sebagai Quasi Brave. Dan yang terakhir, orang yang kehilangan kualifikasi tersebut dalam pertempuran dan sekarang hidup seperti cangkang yang kosong.

Untuk menjadi Regular Brave, seseorang membutuhkan latar belakang yang sesuai. Misalnya, kau harus memiliki darah Dewa di dalam dirimu. Atau kau adalah keturunan seorang Brave. Atau kau lahir pada malam spesial yang disebutkan dalam beberapa ramalan. Atau kampung halamanmu telah dihancurkan oleh Naga. Atau ayahmu telah menurunkan teknik pedang rahasia padamu. Atau tubuhmu memiliki iblis kuat yang disegel di dalamnya. Semua Braves memiliki beberapa latar belakang seperti itu. Hanya orang-orang yang disetujui semua orang yang mampu menangani kekuatan manusia yang benar-benar memiliki kesempatan untuk memahaminya.

Jadi, Willem tidak bisa menjadi Regular Brave. Tidak peduli berapa pun yang dia inginkan, dia sama sekali tidak memenuhi kualifikasi. Orangtuanya menjalani kehidupan sederhana dan bekerja di bisnis kapas. Dia tumbuh di panti asuhan biasa, tidak terlalu senang tapi juga tidak terlalu menderita. Tentu, latar belakang biasa hanya bisa memberinya kekuatan biasa. Dia sama sekali tidak bisa melakukan hal itu. Pasti menyenangkan jika dia setidaknya lahir di lingkungan sekolah pedang kelas atas atau semacamnya, tapi sayangnya dunia sepertinya tidak memihak pada Willem.

"Kau tidak memiliki bakat." Suatu saat, pengurus panti mengatakan kata-kata itu kepadanya. "Sistem Braves pada dasarnya sangat elit. Pahlawan legendaris ... mereka yang lahir dengan darah seorang dewa ... sistem yang diciptakan untuk memberi orang-orang semacam itu kemampuan untuk membuka kekuatan yang lebih besar lagi. Mereka hidup di dunia yang sama sekali berbeda dengan kita yang hanya seorang pejuang sederhana yang berjuang untuk meraih kemenangan dalam skala yang jauh lebih kecil. Mereka membawa seluruh dunia di punggung mereka."

Master menggelengkan kepalanya. "Setiap manusia normal tidak akan dapat memenuhi tujuan itu. Bahkan jika kau memaksakan dirimu sendiri, kau akan segera gagal ... maka, tidak mampu bertarung akan menjadi hal yang paling sedikit kau khawatirkan. Dan Willem, sayangnya, kau adalah manusia normal."

Sebuah keheningan singkat mulai mengisi percakapan mereka. Master menarik napas dalam-dalam dan memberikan pidato terakhirnya. "Jangan buat wajah seperti itu ... aku tidak sedang seperti menikmati setelah menghancurkan mimpimu. Ini hanyalah kebenaran yang harus kuberitahu dan kenyataan yang harus kau hadapi. Itu saja."

Saat mendengar kata-kata itu, Willem membantahnya. Dia terus dengan keras kepala menolak untuk menyerah. Melihat ke belakang, ini mungkin reaksi kekanak-kanakan. Tapi saat itu, dia sudah sangat serius. Dia memilih untuk menentang kata-kata master-nya sampai akhir yang pahit.

Willem mengingat generasi ke-20 Regular Brave yang ditunjuk oleh Gereja. Dia tidak hanya mewarisi darah dari Regular Brave pertama, tapi juga telah lahir sebagai pewaris kerajaan. Ketika usianya baru sembilan tahun, tentara Gloom Elf menyerang kerajaan tersebut, membakar segala sesuatu yang dia sayangi menjadi abu. Orangtuanya, teman-temannya, dan kampung halamannya. Sementara kastilnya hancur dilahap api, dia melarikan diri ke sebuah desa terpencil yang jauh dimana dia mempelajari teknik pedang yang telah lama hilang di bawah jenderal tentara tua.

Ketika Willem pertama kali mendengar tentang sejarah pria itu, dia hampir tidak bisa melakukan apapun kecuali menghela napas. Akhirnya melihat bukti apa yang dibutuhkan untuk menjadi Regular Brave, itu sedikit menyakitkan. Ketika orang yang baru ditunjuk itu menerima pedang tercinta Regular Brave yang ke 18, Seniorious, salah satu dari lima pedang suci tingkat tertinggi di seluruh dunia, dia tidak dapat membuat dirinya merasa tidak cemburu atau benci. Dia sudah pesimis memikirkannya. Semuanya ada di dunia yang berbeda darinya. Membandingkan dirinya dengan hal itu hanya bisa membuatnya lebih menderita.

Beberapa lama kemudian, Willem sadar. Orang itu punya alasan untuk bertarung. Dia punya alasan untuk bertarung. Dia punya alasan mengapa dia harus bertarung. Itu sebabnya semua orang, termasuk Willem, tidak menyadarinya. Tidak ada yang membayangkan kemungkinan itu.

Dia. Generasi ke-20 Regular Brave. Terlahir dengan kekuatan untuk mengalahkan iblis terkuat, menahan rasa sakit karena kehilangan orangtua dan kampung halamannya, membawa teknik rahasia masa lalu kuno dengan memegang pedang bersinar yang mampu melawan bahkan para Visitor.

Orang itu tidak pernah ingin bertarung. Dia hanya melemparkan dirinya ke dalam perang balas dendam karena memang tidak punya pilihan lain. Dia menantang Naga dan para dewa itu sendiri karena ia harus memenuhi harapan orang lain. Dia hanyalah boneka yang dimanipulasi oleh kekuatannya sendiri dan keinginan orang-orang yang bisa menggunakannya.

Begitu Willem menyadari hal itu, ia mulai membencinya. Dia tidak akan pernah bisa memaafkannya. Dan, jujur ​​saja, dia masih membawa beberapa perasaan itu bahkan sampai sekarang.

***
Saat matahari terbenam di bawah cakrawala, hujan ringan mulai menetes.

"Harus membuka payung ..." gumamnya pelan, tapi dia sebenarnya tidak ingin berlindung atau kembali ke kamarnya.

Pulau ke-68, distrik pelabuhan. Tempat yang ada di seluruh pulau itu berisi semua fasilitas yang diperlukan untuk keberangkatan dan kedatangan kapal. Dia berdiri di tempat terbuka di dekat tepi pelabuhan, membiarkan dirinya rentan terhadap tetes hujan yang turun. Beberapa awan berbentuk seperti kapas robek melayang di bawahnya. Bahkan lebih jauh lagi di balik itu, ia melihat hamparan tanah yang luas menyebar ke segala arah. Dataran itu tidak mengandung jejak hijau hutan atau biru sungai dan samudera maupun padang pasir yang kuning. Pemandangan di depan matanya hanya berisi lautan pasir abu-abu yang aneh dan berlumpur.

Dia datang ke pelabuhan untuk tujuan melihat pemandangan itu. Dia ingin mengkonfirmasi hal-hal yang telah hilang, hal-hal yang tidak dapat dia ambil kembali. Tapi tak lama kemudian, bahkan gurun abu-abu itu mulai meleleh menjadi kegelapan malam yang mutlak.

Ada beberapa hal yang bisa dia setujui. Misalnya, penggunaan Venom itu. Venom sedikit menyerupai panas, atau nyala api. Pertama-tama kau menyalakan api di dalam tubuhmu, memberi makan api, lalu mentransfer kekuatannya ke luar. Tapi panas ini menempatkan beban pada tubuh pengguna. Jika kau mencoba memanggil api di luar kekuatan tertentu, energi kehidupanmu sendiri akan mencekikmu. Mekanisme ini menempatkan batas atas yang melekat pada jumlah Venom yang dapat digunakan oleh ras yang berbeda.
Jadi, jika ada beberapa bentuk kehidupan yang tubuhnya tidak sepenuhnya hidup, maka ia bisa menghasilkan sejumlah besar Venom jauh melampaui apa yang diharapkan oleh ras lain. Kekuatan itu --yang kemungkinan besar tidak terkendali-- akan segera menjadi liar dan menyebabkan ledakan raksasa, menghempaskan pengguna dan musuhnya, hanya meninggalkan lubang menganga dengan satu Carrilon di pusatnya. Mungkin itu sebabnya mereka disebut senjata rahasia. Ini mungkin bukan yang paling efisien, mengingat hanya satu kali mereka hidup, tapi hanya memiliki hal itu sebagai pilihan membawa makna dan nilai yang signifikan.

Satu hal lagi yang bisa dia setujui, mereka pasti kuat. Sebuah ras yang dibesarkan untuk perang. Seluruh hidup mereka dihabiskan untuk tujuan kemenangan semata. Membawa nasib itu sendiri membuat gadis-gadis itu layak. Layak menjadi penerus Regular Brave. Mereka bisa menjadi hal yang sulit dicapai Willem dahulu. Besar. Hebat. Mereka mungkin menginginkan hal itu juga. Dalam hal ini, dia seharusnya bahagia untuk mereka. Dia harus memberkati mereka. Woohoo, mengagumkan! Aku akan meninggalkan sisanya untukmu! Semoga berhasil!

"... Aku ingin mati..."

Tentu saja, Willem tahu. Logika yang sangat cacat telah diciptakan oleh pikirannya sendiri dalam usaha putus asa untuk menghibur dirinya sendiri. Berdiri di sini sendirian membuat pikirannya menjadi liar. Mungkin akan lebih baik untuk berbicara dengan gadis-gadis itu secara langsung tentang bagaimana perasaannya. Tapi pada akhirnya, apa yang bisa dia lakukan? Orang luar yang tidak relevan tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam perang para Braves.

"- hm?"

Di atas kepalanya, sinar yang menyerupai matahari bersinar terang, membelah awan awan yang tebal. Sebuah kapal terbang mendekat. Dia tidak bisa melihat siluetnya dengan baik melawan cahaya yang menyilaukan di baliknya, tapi dia tahu pasti bahwa itu bukan kapal patroli biasa atau kapal penyeberang. Rasanya agak kecil, tapi kemungkinan besar itu adalah kapal pengangkut tentara.

Suara penggilingan logam dalam terdengar di udara lembab saat pesawat itu berlabuh di pelabuhan. Terdengar bunyi meletus yang berasal dari hantaman piston. Tiga jangkar mengikat bagian belakang, tengah, dan depan kapal ke dermaga. Sepasang rotor menghentikan gerakannya. Reaktor mantra pembakaran secara bertahap ditutup, menurunkan suara gemuruh yang memekakkan telinga yang telah dibuatnya.
Pintu masuk utama kapal dibuka, memperlihatkan dua sosok manusia yang melangkah keluar dari dalam.

"Kalian..."

Willem langsung mengenali keduanya sebagai Leprechauns, Chtholly dan Ithea. Mereka berdua mengenakan seragam tentara wanita informal, sebuah pakaian yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Ada yang tidak beres. Ithea dengan ekspresi muram di wajahnya berjalan dengan lunglai, membawa Chtholly yang bersandar di bahunya.

"Hei hei, Willem, Teknisi Tingkat Kedua, selamat malam." Dia berbicara dengan nada ceria yang biasa. "Tentu tempat yang aneh untuk bertemu, huh? Sedang jalan-jalan di tengah hujan?"

Ithea mungkin menganggapnya sebagai lelucon atau tebakan yang sengaja salah dalam usahanya untuk mencegah topik dari situasi mereka sendiri. Tapi itu memang cara yang cukup benar. Yah, bukannya hal itu penting. Willem tidak akan membiarkan mereka menghindari topik pembicaraan.

"Apa yang terjadi dengan kalian?"

"Hmm ... kita berada dalam situasi yang sama sepertimu. Hanya berjalan-jalan sebentar di luar pulau ... maukah kau menerimanya sebagai penjelasan?"

"Tentu saja tidak, aku kira ini ...." Dia tersendat. Entah apakah akan lebih baik bertanya lebih jauh, dia tidak tahu, tapi dia perlu. "Kau baru saja kembali dari pertempuran, bukan? Dengan '17 jenis binatang buas'."
"Ahaha, bagaimana kabarmu?"

Chtholly tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak turun dari kapal. Ingin melihat betapa parahnya dia terluka, Willem mendekatinya.

"Ah - dia baik-baik saja. Tidak ada yang bisa kau lakukan untuknya. Jika kau ingin membantu, mungkin kau bisa mengatasinya di sana."

Dengan matanya, Ithea menunjukkan bahwa sosok besar itu berdiri di belakang mereka. Sisik putih susu menutupi seluruh tubuhnya dimana ia mengenakan seragam tentara. Sambil meringkuk meremas-remas pintu, raksasa itu mulai lamban keluar dari kapal. Di kepalanya, sepasang mata terbuka dan terkunci pada Willem.

- itu adalah Reptrace yang Willem pernah lihat satu kali.

"Seragam itu ... aku menganggap bahwa kau adalah Willem?" Dia memiliki suara yang mengintimidasi, seperti desisan ular. Karena struktur tenggorokannya yang berbeda, Reptrace selalu memiliki pengucapan yang aneh, bahkan saat berbicara dengan bahasa lidah umum di pulau-pulau.

"Yeah ... dan kau?"

"Bawa ini," perintah Reptrace, sama sekali mengabaikan pertanyaan Willem dan menyerahkan padanya, atau lebih tepatnya melemparkannya ke arah Willem dua benda panjang dan tipis.

Secara reflek, Willem mengulurkan tangannya untuk menangkapnya. Tapi barang itu --yang tidak begitu besar jika dibandingkan dengan tubuh raksasa Reptrace-- hampir melampaui ukuran Willem. Demikian juga, sementara Reptrace telah mampu menahannya dengan mudah dan membuangnya, itu terlalu berat untuk otot manusia normal manapun. Dia gagal meraihnya dan benda-benda itu jatuh ke tanah, membuat suara logam berdentang.

"Ini adalah ..."

Benda yang dibungkus erat oleh kain putih adalah dua pedang berukuran sangat besar.

"Kedua senjata ini. Bawa kembali ke tempat penyimpanan." Reptrace mengulangi perintahnya dan mulai kembali ke dalam pesawat.

"H-Hey!"

"Kau tidak punya hak untuk mengatakan apapun. Di tempat di mana seorang pejuang berdiri, orang yang bukan pejuang tidak bisa masuk."

Dengan itu, pintu tertutup rapat, menyembunyikan tubuh Reptrace seperti punggung.

"Ah, jangan khawatir tentang dia. Pak Lizard memang selalu seperti itu," kata Ithea riang. "Juga, jika kau bisa membawa pedang-pedang itu, hal tersebut akan menjadi super sangat membantu. Seperti yang kau lihat tanganku penuh dengan Chtholly."

"Apakah dia terluka?"

"Tidak, dia hanya terlalu bersemangat, jadi dia merasa sedikit pingsan. Setelah beristirahat di klinik, dia akan baik seperti baru."

"Begitukah."

Willem mengangkat salah satu pedang yang terbaring di kakinya. Bahkan melalui pembungkus kain tebal, ia bisa merasakan teksturnya yang familiar. Dan meski dengan pencahayaan yang kurang, dia bisa mengenali bentuknya yang tak salah lagi.

"Seniorious ..."

"Oh, kau tahu pedang itu dengan sangat baik."

Tentu saja dia tahu. Tidak ada satu Quasi Brave pun yang hidup selama waktu itu yang tidak tahu nama pedang ini. Berayun ke kanan dan naga akan terbunuh. Berayun ke kiri dan dewa akan terluka. Salah satu Carillon pertama yang pernah dipalsukan. Pembakar Naga Coklat. Penghancur dewa. Pedang rahasia dari sarung pedang putih. Pedang ini telah mengumpulkan banyak julukan dari sejarahnya yang panjang dan banyak prestasi yang cukup untuk dibuatkan sebuah buku. Sebuah Carrion di antara Carrilon. Partner generasi ke 18 sampai ke-20 Regular Braves, merupakan simbol kepahlawanan.

"Apakah ini milikmu?"

"Itu milik Chtholly, aku ditugaskan memegang yang satunya."

Willem mengangkat pedang kedua.

"Valgulious."

"Mhmm, sepertinya kau cukup berpengetahuan, apakah kau sudah membaca daftar peralatan atau apapun?"

"Tidak ...." Dia menggelengkan kepalanya. "Kebetulan saja aku tahu banyak tentang pedang ini."

"Ah, aku tidak begitu yakin apa yang kau maksud dengan itu, tapi oke," kata Ithea sambil memiringkan kepalanya.

"Aku juga akan membawanya."

"Hah? Tunggu ..."

Willem mengangkat Chtholly yang lemas dan membawanya ke punggungnya. Di belakang mereka, sebuah suara metalik melengking mengisyaratkan kepergian kapal dari pelabuhan.

"... kau lebih kuat dari yang aku duga," gumam Ithea yang sekarang tidak memiliki apapun untuk dibawa.
"Ini tugasku untuk menjaga kalian sekarang."

"Ohh, kedengarannya keren, ya?"

Willem memulai perjalanan panjang kembali bersama dengan Ithea yang mengikuti setengah langkah di belakang.

"Jadi, seberapa banyak yang kau tahu tentang kita?"

"... tidak banyak, aku tahu bahwa kau adalah seorang peri ... dan kau berjuang untuk melindungi pulau-pulau itu bersama Carillon ... atau lebih tepatnya Dug Weapons, itu saja."

"Hmm ... jadi begitu." Ithea menatap langit. "Meremehkan, bukan? Hidup yang sekali pakai. Menggunakan relik dari Emnetwyte yang diremehkan. Sebuah setting yang cukup menjijikkan jika kau bertanya kepadaku."

"Jangan bilang setting ... kau bukan tokoh dalam sebuah cerita."

Tapi dia benar sekali. Setelan sempurna yang dia bicarakan pada intinya adalah semua yang dibutuhkan Brave. Semakin sedih dan semakin tragis justru semakin baik. Nasib mereka semua berkisar pada setting itu yang akan memberi mereka kekuatan untuk menggunakan artefak kuno Emnetwyte. Tidak masalah jika mereka menginginkannya atau tidak.

"Dulu sekali ... aku mengenal seseorang yang sedang dalam situasi sangat mirip dengan kalian."
"Ooh, cerita lama?"

"Ini tidak cukup lama untuk menjadi sebuah cerita lama. Aku banyak berhutang padanya dan aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk melunasi semua hal yang dia lakukan. Jadi, ketika aku mendengar tentang kalian, aku merasa harus melakukan sesuatu untuk membantu semuanya."

"Wow ... itu benar-benar pendek."

"Aku sudah bilang..."

Ithea menendang batu yang tergeletak di jalan dengan ekspresi bosan di wajahnya.

"Hmm .. apakah ini bagian dimana kau membuka hatimu padaku dan mencoba untuk membangun cinta kita? Karena hanya kita berdua yang berada di sekitar sini."

"Apa kau sudah melupakan seseorang yang ada di punggungku?"

"Chtholly-lah yang akan terbangun di tengah-tengah pembicaraan kita dan mendengar semuanya, kau tahu? Lalu akan terjadi kecemburuan cinta yang indah, cerita yang penuh cinta."

"Apa yang baru saja kau baca akhir-akhir ini?"

"Segitiga Teror."

Willem pernah mendengar judul itu sebelumnya. Cerita ini terjadi di sebuah pulau terapung fiktif dimana karakter tersebut berulang kali terlibat dalam kecurangan dan perzinahan, mengklaim bahwa mereka mencari cinta sejati.

Terjebak di hutan ini membuat hampir seluruh hidup mereka hanya dihabiskan dengan gadis-gadis lain --dan Nygglatho--. Mereka harus belajar tentang masyarakat entah bagaimana. Rupanya, mereka mengumpulkan informasi dari sumber seperti ini ---yang sedikit tidak akurat-- untuk sedikit pengetahuan.

"Aku khususnya menyukai buku ketiga, itu adalah mahakarya."

"Ingatkan aku untuk menyita buku itu kalau kita sudah sampai. Anak-anak tidak boleh membaca buku semacam itu."

"Hal itu adalah penindasan! Siapa yang kau panggil anak-anak, huh? Juga, kau menilai semuanya hanya dari judul?!"

Banyak bentuk hiburan dan kesenangan mengalir melalui Pulau ke-28 yang agak merosot. Berkeliling dari pekerjaan ke pekerjaan, Willem sering mendengar gosip tentang semua orang gila akhir-akhir ini. Bagaimanapun, dia memutuskan untuk mengabaikan semua pertanyaan Ithea.

"Jaga suaramu ... dia akan terbangun."

Ia merasa punggungnya sedikit terusik disertai erangan kecil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar